Tidak mudah menginjakkan kaki di usia 24.
Tahun lalu, tantangan hidup saya hanya lulus kuliah (postingannya bisa kamu baca di sini), kini berbeda. Tantangan hidup saya selain mencari pekerjaan baru, adalah mungkin menikah.
YHA MOHON MAAF INI, PASANGANNYA SAJA BELUM ADA. BELUM LAGI MODAL PESTA PERNIKAHANNYA YANG SUNGGUH BIKIN STRES SENDIRI. MEMANGNYA NIKAH DI NEGARA KAPITALIS BEGINI GAMPANG?! huft...
***
Beberapa waktu lalu, salah satu sahabat semasa kuliah bernama Amalia, menikah dengan teman SMAnya. Pesta pernikahannya sederhana, di rumah saja. Tidak ada yang 'wah', namun terasa intim dan santai.
Sekitar dua minggu sebelum mereka ijab kabul, saya sempat ikut dia cetak undangan dan menemaninya mencari tempat tinggal sementara (yang tidak jauh dari rumah saya, jadi sekarang saya sering main ke tempatnya ๐).
Setelahnya, saya merasa stres sendiri. Kenapa persiapan pesta pernikahan itu sangat menyesakkan? Pesta yang sederhana seperti pernikahan Amalia saja rasanya sudah ribet sekali. ๐
Dengan dalih 'pernikahan satu kali dalam seumur hidup', banyak sekali pasangan yang buang-buang uang hanya untuk menjadi 'ratu' dan 'raja' sehari. Contoh paling dekat adalah Kakak dan Abang saya. Mereka sampai bikin pesta pernikahan dua kali, satu di gedung dan satu di rumah.
Waktu itu saya masih berada di usia yang senang main (dan masih kelihatan bocahnya), jadi tidak ikut campur secara langsung persiapan pesta pernikahan mereka. Makanya ketika saya menemani dan melihat Amalia menyiapkan pesta pernikahannya, saya ikut stres.
Dua pesta pernikahan yang digelar Kakak dan Abang saya tentu adalah keinginan Mamak saya. Yang namanya orang tua, apalagi di Indonesia, punya pesta pernikahan sederhana bukan pilihan mereka. Mamak saya kerja di salah satu perusahaan besar dan Bapak adalah PNS, teman beliau berdua banyak... tentu gengsinya ikutan meninggi.
Ingat berita salah satu beauty influencer, Suhay Salim yang hanya menikah di KUA menggunakan jeans dan blazer? Saya sempat membicarakan hal itu dengan Mamak. Bodohnya saya menceritakan hal tersebut dengan mengebu-gebu.
"Wah nikah mah di KUA aja ya, murah dan cepat. Duitnya bisa buat liburan atau beli perabotan," kata saya.
"Kalau kamu mau nikah di KUA aja, nunggu Mamak meninggal," jawab Mamak.
DUAAAR!!! ⚡️⚡️⚡️
Saya melihat Mamak dengan tatapan tidak percaya dan kaget. Sungguh, saya kaget mendengar pernyataan semena-mena beliau. Sebegitu tidak ikhlaskah beliau jika saya hanya menikah di KUA?
Padahal esensinya kan sama-sama menikahkan dua insan yang selalu dikejar pertanyaan 'kapan kawin?' dari sanak saudara kalau sedang kumpul-kumpul, kan? Harusnya pernikahan itu enggak bikin stres kan?
Ya ampun, saya stres.
Tapi kalau dipikir kembali, kenapa pula saya stres? Pasangan belum ada, rencana-rencana masa depan berdua juga belum terbentuk. Selain belum ada pasangan, sekarang saya juga masih jadi pengangguran.
Berarti, secara tidak langsung, saya belum siap lahir batin untuk menikah dalam waktu dekat. Ya Tuhan, ciptaanMu ini aneh sekali karena stres dengan hal yang belum terjadi... ๐
Saya sih hanya berharap bisa menikah ketika kondisi emosional, spiritual dan finansial sudah cukup stabil. Umur hanya angka, tidak menandakan tingkat kedewasaan dan kesiapan diri dengan masa depan kok~
Kalau saya belum siap menikah pada usia 24, ya saya bisa menikah ketika saya siap saja. As simple as that, ya kan? ๐
Ya pokoknya dapat pekerjaan tetap saja dulu. Ketika dapat pemasukan tetap, kan saya bisa tabung untuk membayar pesta pernikahan yang tidak murah. Sekaligus biaya bangun rumah, perabotan, beli sandang dan papan, bayar listrik, bayar internet, bayar langganan Netflix dan Spotify, menabung untuk masa depan dan daftar panjang pembayaran lainnya.
Jika finansial stabil dan ada pemasukan teratur setiap bulan, saya jadi bisa merencanakan hal lainnya kan. Mungkin saat itu, saya sudah siap membicarakan (kembali) soal pernikahan. Hehehe...
*Lalu sekarang saya malah jadi stres karena belum dapat kerja. Mana sisa tabungan di rekening sudah menipis pula. Ya Tuhan... ๐คฆ♀️
***
Tapi kalau dipikir kembali, kenapa pula saya stres? Pasangan belum ada, rencana-rencana masa depan berdua juga belum terbentuk. Selain belum ada pasangan, sekarang saya juga masih jadi pengangguran.
Berarti, secara tidak langsung, saya belum siap lahir batin untuk menikah dalam waktu dekat. Ya Tuhan, ciptaanMu ini aneh sekali karena stres dengan hal yang belum terjadi... ๐
Saya sih hanya berharap bisa menikah ketika kondisi emosional, spiritual dan finansial sudah cukup stabil. Umur hanya angka, tidak menandakan tingkat kedewasaan dan kesiapan diri dengan masa depan kok~
Kalau saya belum siap menikah pada usia 24, ya saya bisa menikah ketika saya siap saja. As simple as that, ya kan? ๐
Ya pokoknya dapat pekerjaan tetap saja dulu. Ketika dapat pemasukan tetap, kan saya bisa tabung untuk membayar pesta pernikahan yang tidak murah. Sekaligus biaya bangun rumah, perabotan, beli sandang dan papan, bayar listrik, bayar internet, bayar langganan Netflix dan Spotify, menabung untuk masa depan dan daftar panjang pembayaran lainnya.
Jika finansial stabil dan ada pemasukan teratur setiap bulan, saya jadi bisa merencanakan hal lainnya kan. Mungkin saat itu, saya sudah siap membicarakan (kembali) soal pernikahan. Hehehe...
*Lalu sekarang saya malah jadi stres karena belum dapat kerja. Mana sisa tabungan di rekening sudah menipis pula. Ya Tuhan... ๐คฆ♀️
***
PS: pada hari ulang tahun, saya malah beres-beres kamar dari siang sampai malam. Saya memvacuum debu-debu yang ada di atas lemari, jendela, pintu dan pada sudut-sudut kamar. Saya merasa lebih tentram setelah melakukan kegiatan tersebut. Beneran!
Makan siang hanya dengan ramyun instan dengan taburan keju. Sungguh, ulang tahun kali ini benar-benar menyadarkan saya bahwa semakin tua usia, semakin sederhana hal-hal yang membuatmu senang dan tentram. ๐
๐คท๐ป♀️