Phum Viphurit. |
Phum naik ke atas panggung dari sisi kanan penonton. Teriakan histeris dari penggemar yang didominasi oleh perempuan memenuhi ballroom Hotel Grand Kemang, Sabtu (11/8) malam. Mungkin bahagia karena bisa menyaksikan langsung pertunjukan si ‘Lover Boy’.
“Hello! Selamat malam, everybody,” sapa Phum sesaat setelah naik ke atas panggung.
Hari itu, musisi kelahiran Thailand yang dibesarkan di Selandia Baru sejak usia 9 tahun tersebut mengenakan pakaian yang cukup santai; kaos hitam ‘Damn! I Love Indonesia’ pemberian salah satu penggemar yang sempat ikut meet and greet, celana panjang garis-garis gradasi abu-abu putih yang digulung, kaos kaki warna merah dengan sepatu Converse krem putih, serta jam tangan Casio warna emas.
Senyuman manis dengan gigi berbehel dari penyanyi bernama asli Viphurit Siritip ini tidak pernah hilang. Bersama dengan anggota band lainnya; Tanapon Santiwattana sebagai bassist, Chen-An Wu sebagai gitaris, dan Ormfu pada drum, Phum langsung membawakan lagu ‘Stranger in a Dream’.
Sesaat, Phum terlihat seperti kaget saat mendengar seluruh penonton sing-along dan hafal lirik lagunya. Lagi-lagi senyum manisnya masih saja menempel di wajahnya. Setelah lagu ‘Stranger in a Dream’, pria yang kini berusia 23 tahun tersebut langsung membawakan ‘Paper Throne’ dan ‘Trial and Error’.
Tiba-tiba, Phum meminta salah satu penonton untuk berpartisipasi dalam lagu ‘The Art of Detaching One’s Heart’. Semua penonton, mayoritas perempuan, mengangkat tangannya agar dapat dipilih untuk bernyanyi bersama. Mengingat lagu ‘The Art of Detaching One’s Heart’ merupakan kolaborasi antara Phum dan Jennifer Lackgren dari Jenny & The Scallywags, ia ingin lirik bagian Jennifer dinyanyikan oleh salah satu penggemarnya.
Phum terlihat kewalahan, dan akhirnya memutuskan untuk menarik salah satu penonton dari barisan paling depan. Penggemar yang dipilih Phum adalah perempuan berhijab bernama Audia. Di atas panggung, Audia itu menyanyikan lirik bagian Jennifer dengan kaku dan seakan tak percaya ia bisa satu panggung dengan Phum. Ini seperti ‘One Less Lonely Girl’-nya Justin Bieber, yang membuat penonton lainnya iri.
Setelahnya, pria yang memiliki tinggi kurang lebih 185 cm itu sempat berkata turut berduka cita atas bencana alam gempa yang terjadi di Lombok dan Bali beberapa waktu lalu. Untuk itu, Phum langsung memperkenalkan bassistnya, Tanapon untuk memperlihatkan kemampuan beatboxnya.
Tanpa ragu, Tanapon memperlihatkan kemampuan beatboxnya yang pernah mendapatkan penghargaan. Mungkin semua orang yang ada di dalam ruangan itu terkejut dengan pertunjukan tersebut.
“Okay, I can leave you now,” canda Phum setelah Tanapon selesai ber-beatbox-ria.
Yang ditunggu-tunggu, akhirnya Phum membawakan ‘Lover Boy’ dan dilanjut dengan ‘Beg’. Sebelum mulai membawakan ‘Beg’, Phum bercerita bahwa lagu ini mengenai kisah cintanya yang ditolak oleh teman perempuannya di Selandia Baru. Setelah ditolak, Phum yang baru berusia 18 tahun saat itu langsung buat lagu ‘Beg’ dalam waktu dua hari.
“She’s doesn’t like me, and now she’s engaged,” ungkapnya, disusul koor kekecewaan penonton.
Kemudian Phum bawakan ‘Sweet Hurricane’, single pertamanya berjudul ‘Adore’ yang diberikan sentuhan musik reggae diakhir pertunjukan, dan lagu ‘Long Gone’ sebagai penutup konser hangat dan intim ini.
“This is last song for tonight, see you next time!” ujar Phum.
Selesai bawakan ‘Long Gone’, Phum menyuruh semua penonton maju ke depan untuk direkam. Barikade tiang pembatas pita yang sering digunakan di bank langsung copot, membuat penonton membludak maju ke depan panggung. Suasana cukup chaos, Phum yang saat itu sedang berkeringat langsung dipeluk oleh beberapa penggemar. Tak hanya Phum, ketiga anggota bandnya pun tidak luput dari serbuan penonton.
Karena tidak ingin ada ‘korban’, pihak sekuriti dan pihak promotor Lokatara Live langsung menyelamatkan Phum, meninggalkan ketiga anggota band yang masih diserbu.
Malam itu, Phum membawakan semua lagu yang ada dalam album pertamanya, ‘Manchild’ (2017). Mungkin akan ada beberapa penonton yang kecewa karena Phum tidak berbicara dalam Bahasa Thailand, malah berbicara bahasa Inggris sebagai bahasa pertamanya. Dilansir dari berbagai hasil wawancara, Phum memang lebih nyaman menggunakan bahasa Inggris saat menulis dan menyanyikan lagu.
Lagu-lagu yang ia tulis, ia sebut sebagai ‘sunshine music’ karena sebagian besar liriknya berdasarkan perasaan dan emosi yang muncul ketika ia menulis dan mengaransemen lagu.
Dilansir dari Time Out Bangkok, Phum rencananya akan mengeluarkan album kedua pada kuartal ketiga tahun ini. Menurutnya, album kedua ini akan sedikit berbeda dari yang pertama, yang melibatkan melodi sedih dan skenario buruk kehidupan. Pada album kedua, isinya akan fokus pada hal-hal menyenangkan dan orang-orang yang ia temui dalam kehidupan.
Sebelumnya, Circarama dan Polka Wars jadi band pembuka pertunjukan Phum Viphurit Live in Jakarta.
Circarama. |
Band asal Jakarta, Circarama membawakan lima lagu dari album pertamanya, ‘Plasticine Jewel’ (2017), yaitu ‘Empty Room’, ‘I Don’t Mind’, ‘Apple Queen’, ‘Sweet Shining’, dan ‘Porcelain Sky’.
Sedangkan Polka Wars membawakan beberapa lagu, yaitu ‘Horse’s Hooves’, ‘Coraline’, ‘Seek’, ‘Mapan’, ‘Rekam Jejak’, ‘Rangkum’, dan ‘MokelĂ©’ yang masing-masing diambil dari album ‘Axis Mundi’ (2015), ‘EP/NY’ (2017), dan single terbaru mereke: ‘Mapan’ serta ‘Rekam Jejak’.
Polka Wars. |
“(Konser ini) pas nih untuk menyambut Asian Games (karena ada kolaborasi antara Indonesia dan Thailand),” ujar vokalis sekaligus gitaris Polka Wars, Karaeng Adjie.
Tidak hanya membawakan lagu-lagu lamanya, Polka Wars juga sempat membawakan lagu baru yang belum dirilis berjudul ‘Mandiri’. Yang spesial kali ini, Karaeng menyanyikan lagu ini sendiri tanpa bantuan ketiga personil lainnya, gitaris Billy Aulia Saleh, bassist Xandega Tahajuansya, dan drummer Giovanni Rahmadeva. Jika dilihat dari lirik yang diyanyikan, lagu ‘Mandiri’ berkisah mengenai patah hati yang belum sembuh.
Circarama dan Polka Wars sendiri merupakan band beranggotakan masing-masing empat orang yang berasal dari Jakarta.
Circarama berisi anggota; Jugo Djarot pada gitar dan vokal, Faiz Mochamad pada gitar, Teuku RIfaldi pada bass, dan Eki Yuda Sena pada drum. Musik mereka bergenre sekiranya psychedelic, folk, ambient, dan rock. Namun sebagai grup musik, mereka enggan melabeli diri mereka sebagai band dengan satu genre tertentu. Menurut mereka, hanya orang-orang yang sudah mendengarkan musik mereka yang bisa ‘melabeli’nya.
Lain lagi dengan Polka Wars, yang anggotanya merupakan lulusan sekolah Islami. Pada 2015, mereka sempat memenangkan kompetisi yang disponsori Converse, yang hadiahnya berupa kesempatan rekaman di Converse Rubber Tracks Studio, Brooklyn, New York, Amerika Serikat. Pada album ‘Axis Mundi’, semua lirik ditulis dalam Bahasa Inggris. Namun, baru-baru ini, setelah merilis lagu ‘Rangkum’, Polka Wars mulai memproduksi lagu dalam Bahasa Indonesia.
PS: postingan ini sempat tayang menjadi dua artikel di UrbanAsia dengan judul 'Circarama dan Polka Wars Buka Pertunjukan Phum Viphurit Live in Jakarta' dan 'Konser Phum Viphurit Live in Jakarta: Hangat dan Intim'.
PS: postingan ini sempat tayang menjadi dua artikel di UrbanAsia dengan judul 'Circarama dan Polka Wars Buka Pertunjukan Phum Viphurit Live in Jakarta' dan 'Konser Phum Viphurit Live in Jakarta: Hangat dan Intim'.
No comments:
Post a Comment