Saturday, November 23, 2019

Bukan jatuh cinta

Saya pertama kali bertemu dengannya ketika sedang ditugaskan dalam satu liputan yang sama. Walaupun berada di satu perusahaan yang sama, kami berbeda divisi, juga berbeda ruang dan lantai.

Hari itu, Jumat, 23 Agustus 2019 pukul 09.48 WIB, masuk sebuah pesan lewat WhatsApp darinya.

👦🏽 : "Mbak, ini saya (menuliskan nama). Ini jadi jalan ke lokasi bareng kan dari kantor?"

👩🏽 : "Jadi Mas. Mas udah di kantor?"

👦🏽 : "Iyaa. Saya di lantai 3 ya."

👩🏽 : "Oke, langsung ke lantai 3."

👩🏽 : "Mas, jam 10.25 aku ke bawah ya."

👦🏽 : "Bawah mana? Lobby?

👩🏽 : "Di lobby aja kali ya biar langsung (jalan)"

👩🏽 : "Mas, udah di lobby"

👦🏽 : "Oke ke bawah gue"

Kira-kira itu lah percakapan yang terjadi.

Dalam percakapan awal tersebut, saya menggunakan kata 'aku' dan memanggilnya dengan panggilan 'mas' karena saya pikir ia lebih tua dibandingkan saya. Kesopanan tetap harus tetap dijaga dong ah!

Pertemuan terjadi di lobi kantor. Entah mengapa saya langsung terperanjat ketika melihatnya. Jujur, dia benar-benar terlihat manis pada pandangan pertama!

Harusnya dia gak saya panggil 'mas', karena kayaknya dia seumuran dengan saya. Saya ingat betul dia berjalan ke arah saya, dengan menenteng tripod dan kamera video.

Saya juga ingat sempat fokus dengan rambutnya yang curly gondrong dan sedikit berantakan —yang sungguh malah menambah tingkat ke-manis-an dirinya. Gosh, he's really cute tbh! Saya memang enggak kuat dengan orang-orang yang terlihat manis.

Is this love at first sight? Yah, well, enggak seberat 'love' juga sih. Mungkin bisa disebut dengan ketertarikan pada pandangan pertama. 🤷🏽‍♀️

Dengan mengenakan kemeja lengan pendek kotak-kotak dan celana jeans, ia menyapa saya. Kami berjabat tangan. Kemudian kami menunggu salah satu orang untuk langsung berangkat ke lokasi liputan dengan jasa taksi online.

Beberapa jam setelahnya, liputan kami sukses dan selesai dengan baik. Kami kembali ke kantor dan berpisah ke ruangan masing-masing.

Setelah itu, sekitar sebulan kemudian, saya baru melihatnya lagi. Ia sedang ditugaskan dalam sebuah program berita di lantai tempat saya bekerja. Beberapa kali saya meliriknya, ia sedang sibuk mengoperasikan kamera, dan ketika kamera sedang roll, ia sibuk dengan smartphonenya.

Beberapa waktu kemudian, saya melihatnya kembali ketika sedang mendatangi meja sekretaris redaksi untuk melakukan reimbursement. Saya curi-curi pandang macam maling karena takut mata kami bertemu. Keki dong ah kalau sampai ketahuan tertarik! 🙄

Memang agak sulit jadi salah satu Sagitarius. Serius, kalau lagi tertarik sama orang bisa seaneh ini. Tapi juga gak mau kelihatan kalau tertarik dengan orang tersebut alias harus ditutupi!

Sagi tuh api, gak boleh lembek dan harga diri harus jadi prioritas utama, bahkan dalam hal receh suka-sukaan begini. Gengsi ah kalau ketahuan tertarik atau suka gitu~

Beberapa minggu kemudian, tepatnya pada 10 November lalu, kami bertemu lagi dalam liputan yang sama di Gelora Bung Karno. Ia mengenakan kaos warna toska, dengan belang di kedua lengan tangannya. Kayaknya abis panas-panasan dan dia enggak pakai sunblock atau lotion. 😅

Waktu itu, kami hanya berbincang sebentar, sekadar basa-basi. Saya memang agak tidak fokus, karena di luar liputan itu saya harus nyetor beberapa tulisan kepada editor yang sedang piket.

Terakhir saya melihatnya di depan kantor, itupun tidak sengaja. Kami berpapasan, dan saya baru menyadari itu adalah dia setelah beberapa detik berpapasan. Ya maklum deh, mata saya sudah minus hampir 4 dan kacamata yang sekarang saya gunakan memang sudah harus diganti.

Tapi memang selama ini, dari dia tidak pernah menyapa saya terlebih dahulu sih. Ya namanya juga belum lama kenal, jadi mungkin sungkan. Tapi saya juga sungkan nyapa duluan karena tidak mau terlihat cari perhatian. 😂


***

Eh tapi kalau dibilang saya falling in love dengan dia, enggak juga ya. Jangan salah sangka  ya, karena saya cuma tertarik berkat parasnya yang manis. Dari awal juga tidak ada keinginan untuk pendekatan atau petrus jakandor. 👇🏽👇🏽👇🏽



For your infomation, saya ini memang mudah tertarik dengan seseorang, namun juga mudah menghilangkan perasaan tertarik itu. Rasa tertarik saya akan langsung hilang apabila pria tersebut sudah memiliki pacar atau bahkan beristri dan beranakBeneran deh!

Percayalah, saya enggak ada bakat jadi pelakor kok. 🤣

Selain itu ada alasan kenapa saya berani menulis postingan (yang punya potensi dibaca oleh bersangkutan atau kolega lain, dan jadi bahan cengan) ini: karena akhirnya saya kembali tertarik dengan seorang pria setelah bertahun-tahun enggak tertarik.

Ini kayak sebuah pencapaian yang patut diapresiasi! 😂

Gila juga sih ya. Ini saya, dalam beberapa tahun terakhir, memang belum lagi tertarik dengan pria-pria yang selama ini bersinggungan dengan hidup saya. Ya alasannya apalagi kalau bukan soal prioritas.

Masa-masa punya pacar atau pasangan adalah prioritas itu ketika saya SMA dan kuliah. Sayangnya, prioritas yang dulunya (kayak) penting ini, harus rela diganti dengan prioritas karir yang sedang saja jalani.

Lagian selama ini saya juga biasa saja hidup tanpa pacaran. Hidup di dunia hampir 25 tahun, dengan banyaknya populasi laki-laki, saya malah hanya pernah pacaran sekali dalam seumur hidup.

Lima tahun lalu, saya sempat pacaran dengan salah satu senior di Himpunan kejurusan, dan hanya bertahan tok dua minggu dengannya. Putus karena terjadinya peristiwa menjijikan yang langsung membuat saya ilfeel parah!

Setelah itu saya enggak pernah pernah pacaran lagi. Namun jika saya bosan dengan kesendirian, saya akan aktif main aplikasi pencari perjodohan macam Bumble dan Tinder. Tapi abis main, yaudah gitu aja. Saya mah anaknya memang mudah bosan.

Well, tapi saya akui kalau saya juga terkadang galau, namun hal itu hanya seasonal aja kok. Masih dalam batas manusiawi juga kok ke-galau-an yang saya alami.


***

Saya sebenarnya mau membuat pengakuan: saya jauh lebih nyaman jika orang yang saya suka tidak mengetahui perasaan suka saya. Macam jatuh cinta diam-diam atau secret admirer gitu lah.

Memang, memendam perasaan tidak baik untuk kesehatan jiwa dan mental. Namun saya baru paham mengapa jadi seperti ini: saya memiliki trauma dalam menyatakan perasaan ke orang lain, dan akibatnya, saya masih sulit untuk membuka hati kepada pria.

Kisah ini dimulai ketika cinta pertama yang begitu pure selama 9 tahun hanya dibalas  dengan kata "sorry"

Mungkin saya enggak bakal memiliki trauma dan pengalaman pahit dengan pria kalau saja waktu itu dia membalas pernyataan saya dengan, misal: "Maaf ya. Terima kasih sudah menyukai saya, tapi maaf saya tidak bisa membalasnya. Tapi kita masih bisa berteman kok" atau kalimat senada.

I think it'll be nice, ya gak sih? 🙂

Masalahnya, waktu itu dia tidak membalas seperti itu. Dia menjauhi saya, dan saya merasa dia seperti jijik jika saya suka dengannya. Ditambah, jawabannya saat itu membuat saya merasa worthless.

Pertanyaannya, apakah saya bisa membuka hati lagi? Sejujurnya saya takut. Saya enggak mau merasakan sakit yang sama lagi. Call me coward, tapi itulah kenyataannya.

Makanya, saya lebih senang menyukai seseorang diam-diam, dan tidak mengumbar-umbar hal tersebut, apalagi dengan orang yang bersangkutan.

Well, kita juga memang enggak bisa memaksa orang untuk membalas perasaan kita kan. Yah kalau soal cinta pertama sih saya udah ikhlas lah membuang waktu berharga selama 9 tahun untuk suka sama orang yang jelas-jelas enggak suka sama saya. Bodoh memang.

No comments:

Post a Comment