Phew... lagi-lagi memasuki usia baru dengan kesendirian. Sebenarnya sih nggak masalah ya, toh kita senang-senang saja ngelakuin apa-apa sendiri.
Meski sendiri, bukan berarti setahun terakhir ini suck ya. Banyak hal seru yang dilewati. Mulai dari menemukan hobi baru, hingga pasangan baru. Iya, nggak salah baca kok. Akhirnya setelah lima tahun menjomblo, saya pacaran lagi...
... tapi hanya untuk empat bulan.
Ini kisahnya cukup nano-nano sih. Bolehlah ya kita cerita mengenai mantan di postingan ulang tahun kali ini. Bosan kalau harus marah-marah lagi kayak pas postingan 25 atau pusing lihat perencanaan pernikahan teman di postingan 24.
Okeh kita mulai aja ceritanya.
Mantan saya berinisial T dan berusia 27 tahun alias terpaut dua tahun dari saya. Sign kami sama-sama Sagitarius, tapi saya lupa dia ulang tahunnya Desember tanggal berapa. ð
Kita match lewat aplikasi pencarian jodoh Bumble pada 23 Juni 2019 (yes, I scrolled this and reread some chat between us). Dia ini aslinya orang Serang tapi merantau dan nyewa indekos di Jakarta Barat. Saya lupa dia bekerja sebagai video editor atau illustrator, ya intinya yang berhubungan dengan visual.
Setelah match, kita cukup intens chatting via Bumble. Ngomongin keseharian, rekomendasiin film, hukum, poitik, sampai lagu-lagu .Feast dan Hindia (cieee dengerinnya Baskara banget nih ð). Benar-benar ruang diskusi banget. Saya yang saat itu masih nganggur, jadi tertarik untuk terus chat sama dia.
Uniknya kita nggak pernah minta akun media sosial masing-masing. Benar-benar hanya chat via Bumble... sampai 11 Agustus 2019 saya inisiatif duluan untuk pindah chat ke WhatsApp. Jujur ya, saya ngerasa nyaman dan aman chat sama dia, jadi why not.
Tapi setelah pindah chat ke WhatsApp, komunikasi kami malah mengendur. Masing-masing dari kami terkadang nggak balas chat yang ada dan didiamkan begitu saja. Komunikasi kami jadi on-off banget. Ya saya sih santai, karena merasa ini bukan prioritas.
Hingga awal tahun 2020, dia tiba-tiba membalas status WhatsApp saya dan kita mulai intens chat kembali. Nggak lama kemudian dia bilang mau nyamperin saya ke Depok. Dia mau ketemu saya.
WOW! Sungguh mengagetkan!
Meski agak tiba-tiba, tentu saya iyakan. Dia menuju Depok dengan kereta dan kami janjian bertemu di Habitat, kafe milik temannya teman saya. Kami akhirnya bertemu dan saya merasa dia sesuai dengan apa yang selama ini saya pikirkan.
Obrolan kami mengalir begitu saja. Seperti bertemu dengan teman lama. Dari pertemuan pertama tentu ada pertemuan kedua, ketiga, keempat.
Setelah banyak meet up, kami jadian. Tapi saya lupa tanggal pasti jadiannya. Jujur, kalau saya nggak ingat, artinya peristiwa ini nggak begitu memorable buat saya. Mungkin terlihat jahat ya, tapi memang begitulah kenyataannya.
Saat itu juga dia nggak mengeluarkan pernyataan seperti "Mau jadi pacar aku nggak?". Saya ingat dia cuma bilang "Mau ngejalanin dulu nggak?" saat pertemuan kami di salah satu kafe di kawasan M Bloc Space.
Saya sebenarnya bimbang. Hati saya bilang jangan karena belum ada rasa suka sama sekali dengan dirinya. Tapi di sisi lain saya ngerasa ini kesempatan baik meski nggak tahu bakal ada apa ke depannya.
Setelah berpikir beberapa waktu, akhirnya saya iyakan ajakan dia. Yup, finally I got a boyfriend.
Selama pacaran, saya paling blak-blakan dengan mantan. Saya berani menceritakan masalah dan trauma yang masih saya rasakan hingga kini. Saya bahkan sempat bilang kalau saya belum ada niatan ke jenjang pernikahan karena trauma tersebut.
Sang pacar, yang tentu kini sudah jadi mantan, saat itu mendengarkan dan meresponnya dengan baik.
Tapi rupanya mulai muncul masalah...
Saya kesulitan pacaran. Saya kaget rupanya kencan-kencan yang kami lalui itu mengambil banyak porsi uang hidup bulanan saya. Kami selalu split billing atau bergantian mengeluarkan uang. Jujur, pacaran mahal ya bok!
Selain itu saya kaget karena setiap hari harus ngabarin, teleponan setiap malam dan lainnya. Saya biasanya sendiri, jadi kegiatan ini sejujurnya sangat menguras energi saya. Ya meski begitu saya mencoba nyaman dan jalani saja.
Lalu... masalah lainnya seakan muncul perlahan. Ingat saya pernah bilang ke mantan jika saya belum ada niatan ke jenjang pernikahan? Rupanya mantan seperti berbeda pemikiran.
Saya merasa mantan perlahan-lahan mendorong untuk mengarahkan hubungan ini ke jenjang pernikahan, meski tahu saya punya trauma, yang bahkan insiden pemicunya pernah dia dengarkan dengan telinga kepala sendiri.
Dia bahkan encourage kalau saya bisa jadi mama yang baik bagi anak-anak. Mohon maaf, saya berangan-angan atau proyeksi diri jadi ibu dari seorang anak aja nggak pernah. Jujur, saya nggak bisa ngebayangin ngelahirin anak ke dunia yang seperti ini.
Meski mantan nggak blak-blakan ngajakin nikah, tapi saya merasa 'ditekan'. Akibatnya coping mechanism bekerja. Saya mendadak menjauhi dia. Saya berhenti kontak dia. Tentu dia bertanya-tanya, berusaha menghubungi saya tapi hasilnya nol. Saya menutup diri.
Dia juga nggak bisa datang ke rumah saya karena saya tidak pernah membawanya ke rumah atau mengenalkanya ke kedua orang tua dan ke sanak saudara lain.
Saya takut jika orang tua nyuruh saya nikah. Beberapa bulan sebelum pacaran, Mamak saya sudah kode untuk saya nikah dan ini didukung oleh adik-adiknya (baca kisahnya di sini). Ini yang bikin saya takut ngenalin mantan kepada mereka. Apalagi setelah tahu mantan punya pemikiran ke sana, saya makin emoh untuk ngenalin ke keluarga.
Rupanya yang saya lakukan ini adalah silent treatment, dan ini jahat. Untuk satu ini, saya hanya bisa minta maaf. Seharusnya sebagai orang dewasa, saya bisa komunikasikan dengan baik. Nyatanya tidak seperti itu.
Silent treatment ini berjalan sekitar dua minggu. Setelahnya saya memutuskan untuk minta pisah via WhatsApp. Saat itu pandemi Covid-19 lagi menggila dan saya dapat work from home (WFH), jadi nggak bisa bertemu langsung untuk minta pisah.
Kalau dari chatannya, dia marah. Ya tentu marah, wong pacar nggak ada kabar dua minggu terus tiba-tiba minta putus. Ya akhirnya putuslah kita, dan jujur, hati saya lega karena ngerasa nggak ada pressure lagi.
Di sisi lain saya bukan anti dengan pernikahan, tapi hanya belum lihat benefit menikah untuk kehidupan saya. Saya lebih banyak melihat minus dari pernikahan. Kemungkinan ini hasil buah pemikiran dari trauma yang belum sembuh.
Berdasarkan hasil dari psikolog yang saya curhati, saya memang harusnya melakukan penyembuhan perlahan dan bertahap terhadap trauma tersebut, sehingga nantinya dapat menjalani hidup dengan lebih baik.
Setelah putus dari mantan, saya mulai menata lagi step-step hidup ke depannya. Saya mungkin menikah, tapi tidak tahu kapan. Sekarang saya mau fokus kepada diri sendiri, menerima diri sehingga nantinya bisa membuka diri ke orang baru.
Dari hubungan ini, saya bisa petik banyak hal. Berkat mantan, saya jadi bisa mengenal diri sendiri lebih baik lagi. Akhirnya saya sadar bahwa saya belum siap untuk berkomitmen sebelum benar-benar terlepas dari beban-beban trauma yang ada.
Saya juga belajar kalau lebih baik menolak ajakan berhubungan kalau memang belum ada hati atau rasa. Saya merasa hubungan yang setengah-setengah seperti ini memang nggak baik untuk dijalani.
Selain itu mata saya benar-benar terbuka soal komunikasi, karena ini merupakan tiang yang paling penting dalam sebuah hubungan. Dari hubungan ini juga akhirnya saya bisa belajar mengenai apa yang harus dilakukan agar hubungan baru di masa depan bisa terjalin dengan baik.
Jika sudah lebih baik, saya juga berharap bisa mengenalkan pasangan ke keluarga. Biar nanti bisa pacaran di rumah aja, lebih hemat hahaha
Ya begitulah, tahun ini highlightnya ya saya punya pacar lagi setelah lima tahun sendiri. Sayangnya pendekatan 7 bulan hanya bisa bertahan 4 bulan hehehe ya gak apa lah ya, namanya juga hidup.
PS: Untuk mantan, kalau kamu baca postingan blog ini, saya minta maaf ya. Saya harap kamu bisa dapat pasangan yang cocok secara visi dan misi hidup, sehingga langgeng sampai maut memisahkan. Terima kasih juga. Ya, pokoknya mah yang terbaik buat hidup masing-masing. ð