Saya baru sadar jadi perempuan berusia 25 tahun itu melelahkan.
Ada banyak ekspektasi yang orang inginkan dari saya, seperti punya kekasih dan menikah. I MEAN, WHO THE F*CK ARE Y'ALL??? Kok berani banget kasih saya ultimatum, padahal kalian bukan siapa-siapa saya.
Punya kekasih atau menikah itu bukan perlombaan ya, jadi enggak perlu diburu-buru! π€¦π½♀️
Punya kekasih atau menikah itu bukan perlombaan ya, jadi enggak perlu diburu-buru! π€¦π½♀️
Saya pernah posting sebuah Instagram Story mengenai hal ini. Saya tekankan lagi, punya kekasih atau menikah bukanlah sebuah lomba atau persaingan. PUNYA KEKASIH DAN MENIKAH BUKAN PERLOMBAAN. Tolong jalani saja masing-masing or better shut the f*ck up.
Buat saya, menikah bukan hanya soal cinta dan jadi halal kalau mau bersanggama. It's beyond that. Ini soal komunikasi dan komitmen untuk hidup bersama, dan juga soal keterbukaan atau transparansi antara pasangan dalam segala hal.
Jujur, saya paling malas mendengar ocehan pasangan yang baru menikah atau orang tua yang gembar-gembor mengenai indahnya hidup bersama, dan mengajak para lajang untuk segera menikah.
Hhh... Saya mau galak sedikit. Kedua orang tua saya, khususnya Mamak, hanya pernah bertanya sekali mengenai kisah percintaan saya, dan itu pun sudah lama sekali. She's never ask about that shit again, karena saya yakin beliau tahu saya sedang menikmati hidup.
Lalu tiba-tiba, kalian-kalian ini, yang tidak kasih saya makan atau pun menghidupi saya, kasih ultimatum seperti; "Nikah dong biar gak sendirian kemana-mana", "Kamu kapan nikah? Itu kakak-kakak kamu udah pada nikah dan punya anak", "Umur sudah segini kok gak punya pacar juga?", "Lo normal gak sih?" atau "Elu gendut sih, makanya gak laku".
F*CK Y'ALL. ππ½
Gini, saya banyak melihat masalah-masalah yang dihadapi para pasutri. Tidak usah jauh-jauh, saya melihatnya dari orang tua, dan kedua kakak saya yang sudah menikah. Saya juga melihatnya dari teman-teman saya yang menikah muda dan beberapa diantaranya harus gugur karena ego masing-masing.
Kalau mau jujur, saya belum siap berkomitmen soal menikah. Bukannya saya takut, tapi menikah tanpa persiapan mental yang matang adalah 'bunuh diri'. Maka dari itu, saya masih ingin bebas menggali dan mengenal lebih jauh diri sendiri.
Di sisi lain, sebagai salah satu Sagitarius, saya ini cinta kebebasan dan tidak ingin dikekang oleh hubungan apapun saat ini. Saya masih ingin bebas bekerja, nongkrong bersama teman-teman, menonton bioskop sendirian, dan lain-lain.
Menurut saya, ini bentuk saya dalam mencintai diri sendiri. Dengan begini juga saya bisa jauh lebih mengenal baik dan buruknya diri sendiri. Maka ketika saya siap, artinya saya sudah mengenal diri sendiri. Jadi kalau pun ada masalah, setidaknya saya bisa menanganinya dengan baik.
Di sisi lain, sebagai salah satu Sagitarius, saya ini cinta kebebasan dan tidak ingin dikekang oleh hubungan apapun saat ini. Saya masih ingin bebas bekerja, nongkrong bersama teman-teman, menonton bioskop sendirian, dan lain-lain.
Menurut saya, ini bentuk saya dalam mencintai diri sendiri. Dengan begini juga saya bisa jauh lebih mengenal baik dan buruknya diri sendiri. Maka ketika saya siap, artinya saya sudah mengenal diri sendiri. Jadi kalau pun ada masalah, setidaknya saya bisa menanganinya dengan baik.
Oh ya, menjawab normal atau tidak, saya normal dan saya masih tertarik dengan pria. Ada salah satu kolega yang saat ini sedang saya suka karena wajahnya manis. Tapi hanya sebatas suka gitu aja sih, enggak ada keinginan buat petrus jakador.
Karena balik lagi, sekarang saya lagi enggak mau terikat oleh hubungan apapun.
Jadi intinya, ada saatnya nanti saya siap untuk menikah kok, tapi tidak sekarang. Begitulah. Clear ya, enggak perlu kalian begini lagi ke saya. Terima kasih! π πΌ
Karena balik lagi, sekarang saya lagi enggak mau terikat oleh hubungan apapun.
Jadi intinya, ada saatnya nanti saya siap untuk menikah kok, tapi tidak sekarang. Begitulah. Clear ya, enggak perlu kalian begini lagi ke saya. Terima kasih! π πΌ
***
Hadeuh, niat hati mau menulis yang menyenangkan soal ulang tahun ke-25 kali ini, tapi yang terlintas malah hal-hal yang menyebalkan dan malah bikin saya misuh-misuh. Maaf deh ya, habis kalau dipendam malah akan jadi bom waktu, jadi lebih baik saya utarakan.
Terus, kalau dipikir-pikir, jadi orang dewasa itu memang sulit sekali ya. Saya jadi paham, sekarang makin banyak orang yang berusia tua, bukannya lebih bijaksana malah makin jadi sok tahu. Padahal itu bukan urusan mereka, tapi banyak yang ikut campur. Capek deh.
Semoga saya nanti tidak seperti itu ke orang lain. Noted!
***
Anyway, saya mau cerita mengenai apa yang terjadi kepada saya selama satu tahun terakhir ini. Lagi-lagi, sama seperti tahun lalu, hidup saya terombang-ambing layaknya sedang naik wahana roller coaster. It's fun, tapi di sisi lain bikin pusing juga, tapi pada akhirnya I enjoyed it.
Cerita setahun terakhir ini lebih ke soal pekerjaan dan karir sih. Jika tahun lalu saya dua kali pindah perusaahan, tahun ini pun sama. Ini bukan mau saya juga sih, tapi yah memang lagi kurang beruntung saja dapat atasan yang (lagi-lagi) toxic. π
TL;DR pada perusahaan ketiga, saya dipaksa resign oleh ketiga koordinator lapangan (korlip) saya. Saya ingat betul apa kata kepala HRD mengenai alasan saya dipaksa resign.
"Kata mereka, kamu enggak asik"
Saya gak kaget sih, karena orang-orang di kantor tersebut memakai sistem like and dislike. Kalau kamu sudah enggak mereka suka, ya kamu ditendang.
Lingkungan kantor juga sudah tidak sehat alias toxic abis. Di sana kalian bakal menemukan orang-orang dengan jabatan atas yang toxix. Mereka bersikap bossy dan tentu semena-mena kepada para reporter.
Lingkungan kantor juga sudah tidak sehat alias toxic abis. Di sana kalian bakal menemukan orang-orang dengan jabatan atas yang toxix. Mereka bersikap bossy dan tentu semena-mena kepada para reporter.
Bahkan kalian juga akan menemukan sekelompok korlip yang tidak punya pengalaman di media berbasis online tetapi malah diangkat dan diberikan posisi tersebut. INI. MIND-BLOWING. SEKALI. π€¦π½♀️π€¦π½♀️π€¦π½♀️
Mereka bahkan tidak up to date atau berusaha mempelajari isu terkini. At least, Googling lah kalau enggak tahu! Kalah jauh dengan para reporter yang mereka dzolimi. Giliran dikasih tahu soal isu terkini yang seharusnya diangkat, mereka malah marah karena merasa digurui. π€£π€£π€£
Ini merupakan hal yang fatal untuk sebuah media berbasis online sih, sebab reporter dipimpin oleh orang-orang tak berpengalaman di online sebelumnya.
Padahal ya, kita bisa belajar bersama, sama-sama belajar, bukan saling menjatuhkan. Tapi kayaknya hal-hal baik kayak gini enggak berlaku buat mereka.
Padahal ya, kita bisa belajar bersama, sama-sama belajar, bukan saling menjatuhkan. Tapi kayaknya hal-hal baik kayak gini enggak berlaku buat mereka.
Oh ya, misal ada orang-orang dari kantor lama, terutama yang manusia-manusia toxic membaca ini, tolong wawas diri, introspeksi, atau refleksi diri kalian. Kalau kata Muslim dan Coki, MUHASABAH DIRI ANDA dan bersikaplah profesional.
Kembali ke topik awal. Alasan saya enggak disukai karena terlalu vokal dalam menyuarakan pendapat. Apalagi saya suka mempertahankan opini dan hak saya. Karena hal ini, bahkan salah satu korlip itu pernah mengancam saya secara personal.
Saya tidak berbohong soal ancaman. Saya masih ada bukti chatnya~
Mereka, khususnya sekelompok korlip tersebut, memang tidak suka dengan reporter yang terlalu vokal, makanya saya dicut dan disemena-menakan.
Tapi fenomena ini enggak hanya terjadi kepada saya. Sebulan sebelumnya, dua reporter juga dipaksa resign karena terlalu vokal. Bulan berikutnya, saya dan kawan saya juga dipaksa resign. Bulan selanjutnya juga ada dua teman saya yang dipaksa resign.
Hingga kini, dari 28 reporter yang tergabung, hanya sisa belasan. Ada yang memang resign karena memang kantor sudah setoxic itu, namun lebih banyak yang dipaksa resign. Bahkan beberapa hari yang lalu, kedua kawan saya yang masih bertahan di sana juga dipaksa resign dengan alasan yang tidak masuk akal.
Oh ya, dipaksa resign itu sebenarnya kita dicut kantor, tapi kita pula yang kasih surat resign. Iya, mereka memang licik sekali, biar enggak kelihatan main kotor.
Hingga kini, dari 28 reporter yang tergabung, hanya sisa belasan. Ada yang memang resign karena memang kantor sudah setoxic itu, namun lebih banyak yang dipaksa resign. Bahkan beberapa hari yang lalu, kedua kawan saya yang masih bertahan di sana juga dipaksa resign dengan alasan yang tidak masuk akal.
Oh ya, dipaksa resign itu sebenarnya kita dicut kantor, tapi kita pula yang kasih surat resign. Iya, mereka memang licik sekali, biar enggak kelihatan main kotor.
Saya baru berani menuliskan hal ini sekarang karena sudah tidak ada beban. Kemarin-kemarin saya tahan karena saya masih menghargai mereka, tapi rasanya udah gak guna juga. Jadi sekalian saja lah saya burn the bridge. Bye toxic! ππΌππΌ
***
Tapi selalu ada hikmah dibalik hal buruk. Selalu ada pelangi setelah badai.
Pasca dipaksa resign, saya gencar kirim lamaran ke berbagai media dan perusahaan startup ternama. Ada 8 lamaran yang dikirim lewat email, dan puluhan lamaran via situs pencari kerja (i.e JobStreet, Kalibrr, UrbanHire, Jobs.ID, dan Glints) ataupun langsung ke situs perusahaan.
Setiap minggu saya bisa bolak-balik ke percetakan untuk mencetak CV dan portofolio saya sebagus mungkin, agar menarik dibaca oleh para recruiter. Tidak perlu bertanya sudah habis berapa uang saya untuk hal ini, karena saya sendiri enggak berani menghitungnya.
Akhirnya... penantian berakhir.
Setelah mengikuti beberapa kali proses interview di berbagai perusahaan dalam waktu sebulan lebih, akhirnya saya diterima di sebuah perusahaan media ekonomi waralaba.
Proses penerimaan saya sebagai reporter juga terbilang cukup singkat. Setelah beberapa hari mengirimkan lamaran lewat email, saya ditelepon untuk ikut psikotes dan interview. Interview dengan user, yakni korlip dan editor juga terbilang singkat.
Setelahnya saya sih enggak berharap banyak dan cuma bisa berserah kepada Allah soal hasilnya. Diterima atau enggak, yang penting saya sudah ikuti prosesnya. Nothing to lose kalau kata Umire, salah satu kawan saya yang gesrek itu.
Eh dua hari setelahnya, saya ditelepon HRD. Mereka bilang saya lolos dan langsung nego gaji. Saya udah enggak pakai nego, dan langsung menerima pekerjaan tersebut. Hari Senin berikutnya saya datang ke kantor untuk tanda tangan surat perjanjian kerja, dan foto untuk ID card press.
What a day to be alive.
Saat ini saya masih bekerja di media tersebut, dan saya harap saya bisa bekerja di sini hingga beberapa tahun mendatang. Saya betah bekerja dengan mereka yang memang profesional dalam bidangnya.
Tentu saya yang tadinya goblok banget soal ekonomi, jadi sedikit paham dunia ekonomi. Memang jadi reporter itu harus bisa belajar apapun, apalagi ekonomi yang jadi momok menakutkan sejak saya SMA dulu.
Hai, Mbak dan Mas, saya senang bekerja dengan kalian. Terima kasih sudah memberi saya kesempatan yang baik untuk selalu belajar. π
***
Lalu apa yang saya lakukan di hari ulang tahun kali ini?
Berbeda dengan tahun lalu, dimana saya bebersihan kamar, saya bangun jam 9 pagi, abis itu gelegoran saja di kasur. Terus saya makan nasi kuning yang dibeli tadi pagi sama Mamak. Bikin kopi, dan melanjutkan beberapa pekerjaan yang belum kelar.
Di sela-sela waktu mumet kerjaan, saya menulis postingan ini.
KOK GAK FANCY BANGET YA? π€£π€£π€£
Pengin deh sesekali ulang tahun fancy, kayak makan di restoran mewah sambil mengenakan pakaian cantik gitu. Atau solo traveling ke luar negeri. Mungkin tahun depan ya. Nabung dulu kita! Semoga tercapai! Amin! ππΌ
Tambahan: Mamak ngajak makan malam di luar. Tadinya mau makan di Shabu Hachi, tapi akhirnya melipir ke Abuba Steak. Acara birthday dinner dadakan tersebut bahkan sempat saya buat thread di Twitter. Enjoy! π€£
Tambahan: Mamak ngajak makan malam di luar. Tadinya mau makan di Shabu Hachi, tapi akhirnya melipir ke Abuba Steak. Acara birthday dinner dadakan tersebut bahkan sempat saya buat thread di Twitter. Enjoy! π€£
No comments:
Post a Comment