Friday, December 21, 2018

24

Tidak mudah menginjakkan kaki di usia 24.

Tahun lalu, tantangan hidup saya hanya lulus kuliah (postingannya bisa kamu baca di sini), kini berbeda. Tantangan hidup saya selain mencari pekerjaan baru, adalah mungkin menikah.

YHA MOHON MAAF INI, PASANGANNYA SAJA BELUM ADA. BELUM LAGI MODAL PESTA PERNIKAHANNYA YANG SUNGGUH BIKIN STRES SENDIRI. MEMANGNYA NIKAH DI NEGARA KAPITALIS BEGINI GAMPANG?! huft...

***

Beberapa waktu lalu, salah satu sahabat semasa kuliah bernama Amalia, menikah dengan teman SMAnya. Pesta pernikahannya sederhana, di rumah saja. Tidak ada yang 'wah', namun terasa intim dan santai.

Sekitar dua minggu sebelum mereka ijab kabul, saya sempat ikut dia cetak undangan dan menemaninya mencari tempat tinggal sementara (yang tidak jauh dari rumah saya, jadi sekarang saya sering main ke tempatnya ๐Ÿ˜‚).

Setelahnya, saya merasa stres sendiri. Kenapa persiapan pesta pernikahan itu sangat menyesakkan? Pesta yang sederhana seperti pernikahan Amalia saja rasanya sudah ribet sekali. ๐Ÿ˜“

Dengan dalih 'pernikahan satu kali dalam seumur hidup', banyak sekali pasangan yang buang-buang uang hanya untuk menjadi 'ratu' dan 'raja' sehari. Contoh paling dekat adalah Kakak dan Abang saya. Mereka sampai bikin pesta pernikahan dua kali, satu di gedung dan satu di rumah.

Waktu itu saya masih berada di usia yang senang main (dan masih kelihatan bocahnya), jadi tidak ikut campur secara langsung persiapan pesta pernikahan mereka. Makanya ketika saya menemani dan melihat Amalia menyiapkan pesta pernikahannya, saya ikut stres.

Dua pesta pernikahan yang digelar Kakak dan Abang saya tentu adalah keinginan Mamak saya. Yang namanya orang tua, apalagi di Indonesia, punya pesta pernikahan sederhana bukan pilihan mereka. Mamak saya kerja di salah satu perusahaan besar dan Bapak adalah PNS, teman beliau berdua banyak... tentu gengsinya ikutan meninggi.

Ingat berita salah satu beauty influencer, Suhay Salim yang hanya menikah di KUA menggunakan jeans dan blazer? Saya sempat membicarakan hal itu dengan Mamak. Bodohnya saya menceritakan hal tersebut dengan mengebu-gebu.

"Wah nikah mah di KUA aja ya, murah dan cepat. Duitnya bisa buat liburan atau beli perabotan," kata saya.

"Kalau kamu mau nikah di KUA aja, nunggu Mamak meninggal," jawab Mamak.

DUAAAR!!! ⚡️⚡️⚡️

Saya melihat Mamak dengan tatapan tidak percaya dan kaget. Sungguh, saya kaget mendengar pernyataan semena-mena beliau. Sebegitu tidak ikhlaskah beliau jika saya hanya menikah di KUA?

Padahal esensinya kan sama-sama menikahkan dua insan yang selalu dikejar pertanyaan 'kapan kawin?' dari sanak saudara kalau sedang kumpul-kumpul, kan? Harusnya pernikahan itu enggak bikin stres kan?

Ya ampun, saya stres.

***

Tapi kalau dipikir kembali, kenapa pula saya stres? Pasangan belum ada, rencana-rencana  masa depan berdua juga belum terbentuk. Selain belum ada pasangan, sekarang saya juga masih jadi pengangguran.

Berarti, secara tidak langsung, saya belum siap lahir batin untuk menikah dalam waktu dekat. Ya Tuhan, ciptaanMu ini aneh sekali karena stres dengan hal yang belum terjadi... ๐Ÿ˜‚

Saya sih hanya berharap bisa menikah ketika kondisi emosional, spiritual dan finansial sudah cukup stabil. Umur hanya angka, tidak menandakan tingkat kedewasaan dan kesiapan diri dengan masa depan kok~

Kalau saya belum siap menikah pada usia 24, ya saya bisa menikah ketika saya siap saja. As simple as that, ya kan? ๐Ÿ˜œ

Ya pokoknya dapat pekerjaan tetap saja dulu. Ketika dapat pemasukan tetap, kan saya bisa tabung untuk membayar pesta pernikahan yang tidak murah. Sekaligus biaya bangun rumah, perabotan, beli sandang dan papan, bayar listrik, bayar internet, bayar langganan Netflix dan Spotify, menabung untuk masa depan dan daftar panjang pembayaran lainnya.

Jika finansial stabil dan ada pemasukan teratur setiap bulan, saya jadi bisa merencanakan hal lainnya kan. Mungkin saat itu, saya sudah siap membicarakan (kembali) soal pernikahan. Hehehe...

*Lalu sekarang saya malah jadi stres karena belum dapat kerja. Mana sisa tabungan  di rekening sudah menipis pula. Ya Tuhan... ๐Ÿคฆ‍♀️

***

PS: pada hari ulang tahun, saya malah beres-beres kamar dari siang sampai malam. Saya memvacuum debu-debu yang ada di atas lemari, jendela, pintu dan pada sudut-sudut kamar. Saya merasa lebih tentram setelah melakukan kegiatan tersebut. Beneran!

Makan siang hanya dengan ramyun instan dengan taburan keju. Sungguh, ulang tahun kali ini benar-benar menyadarkan saya bahwa semakin tua usia, semakin sederhana hal-hal yang membuatmu senang dan tentram. ๐Ÿ˜…๐Ÿคท๐Ÿป‍♀️

Friday, August 17, 2018

Kita Belum Merdeka?


Sumber: KlikKabar.com

Sudah 73 tahun negara Indonesia merdeka, sudah selama itu juga kita hidup bebas dari jajahan negara lain. Namun kenyataan yang ada, kita belum hidup sesuai dengan semboyan Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika yang artinya “berbeda-beda tetapi tetap satu”.

Ya, kini kita sebagai individu belum merdeka karena ‘jajahan’ dari sesama masyarakat Indonesia sendiri. Hal ini terjadi karena banyaknya individu atau sekelompok orang yang tidak bisa menerima perbedaan.

Benar kata Presiden pertama RI, Dr. Ir. H. Soekarno, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri." Nah lho! ๐Ÿ˜ฅ

Dalam esai yang agak serius ini, saya akan menjabarkan beberapa contoh kasus yang mirisnya banyak terjadi di sekitar kita, yang setidaknya akan menyadarkan pemikiran bahwa ada banyak alasan mengapa kita, sebagai individu, belum juga ikut merdeka.

Beberapa waktu lalu sempat viral video mengenai seorang laki-laki bernama Alif yang dipukul menggunakan helm oleh perempuan oknum supir ojek online di trotoar Jalan Jatiwaringin, Bekasi. Alif dipukul lantaran menegur supir tersebut untuk tidak naik motor lewat trotoar. Padahal Alif tidak hanya menegur oknum tersebut, ia juga menegur pengendara motor yang naik ke atas trotoar lainnya.


Selain kasus di atas, masih banyak kasus-kasus pertengkaran lainnya yang melibatkan pengguna motor dan mobil dengan pejalan kaki yang mempertegas haknya dalam menggunakan trotoar. Inilah pentingnya sosialisasi mengenai penggunaan trotoar hanya untuk pejalan kaki, bukan pengguna motor, mobil bahkan untuk berjualan.

Ngomongin soal trotoar, kaum disabilitas juga belum ‘merdeka’. Saat ini belum banyak trotoar ramah disabilitas. Biasanya sering kita temui jalur kuning yang dibuat untuk memudahkan penyandang tunanetra, yang kenyataannya enggak ngebantu memudahkan mereka. Kadang jalur kuning dibuat tidak lurus bahkan ada yang malah membahayakan karena posisinya terlalu pinggir. Padahal jalur kuning itu merupakan hak mereka lho.

Lain lagi di Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara. Meiliana, seorang minoritas, malah dituntut penjara selama 1,5 tahun setelah mengeluhkan bahwa suara azan yang dikumandangkan masjid di dekat rumahnya terlalu keras dan menyakiti telinganya. Ia dipenjara berdasarkan pasal penodaan agama (blasphemy law).


Padahal ada lho regulasi soal penggunaan pengeras suara. Dilansir dari Tirto.id, Dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushola, pengguna pengeras suara harus terampil sehingga tidak menimbulkan suara bising atau berdengung yang dapat menimbulkan polusi suara.

Dalam instruksi tersebut juga menyatakan saat salat subuh, ashar, magrib dan isya boleh menggunakan pengeras suara. Sedangkan untuk salat dzuhur dan Jumat, semua doa, pengumuman, khotbah, takbir, dan tarhim menggunakan pengeras suara ke dalam bukan ke luar masjid/mushola. Sayangnya, instruksi tersebut hanya memberi pedoman dasar dalam menggunakan pengeras suara. Tidak ada sanksi yang tercantum dalam instrumen itu bagi masjid yang melanggar.

Yang membuat geram dari kasus ini adalah, sesaat setelah Meiliana mengeluh (iyah, dia cuma ngeluh karena speakernya terlalu berisik), sekelompok orang yang tersinggung dengan kata-katanya membakar dan merusak beberapa wihara dan klenteng di Tanjung Balai. Namun lucunya, tujuh orang pelaku perusakan wihara dan klenteng hanya divonis penjara hitungan bulan.

Dilansir dari BBC, organisasi Human Rights Watch mengungkapkan untuk kesekian kalinya pasal penodaan agama ‘memakan korban’. Sejak 1965, pasal penodaan agama sudah dipakai sebanyak 119 kali di Indonesia. Iya, memang hukum di negeri tercinta ini masih saja tumpul kepada mayoritas dan tajam kepada minoritas.

Selain Meiliana, masih banyak minoritas yang tidak bisa hidup dengan tenang di negara sendiri. Bagaimana bangsa mau maju kalau masyarakatnya terlalu gila agama dan tidak bisa menerima perbedaan?

Lagipula kalau kamu melihat orang beribadah sesuai dengan kepercayaan agama mereka masing-masing enggak bakal bikin kamu auto-kafir kok. Kayaknya sih Tuhan bakal tertawa melihat pengikutnya mengaku beragama tetapi tidak memiliki dan mencerminkan kepribadian yang diajarkan oleh agama.

Beberapa kasus lainnya lebih banyak menimpa perempuan karena masih adanya ‘rape culture’, yaitu dimana pemerkosaan/kekerasan seksual yang sering terjadi tetapi dianggap normal dan biasa saja. Menyalahkan korban, mempermasalahkan cara korban berpakaian, dan memaklumi/mewajarkan tindakan pelaku merupakan salah satu ciri-ciri ‘rape culture’.

Rape culture’ ini tidak hanya menghinggapi pemikiran laki-laki, bahkan perempuan juga. Ingat kasus penyanyi dangdut Via Vallen yang dilecehkan secara verbal oleh pesepak bola Marco Simic? Beruntung Via cukup berani untuk ‘melawan' pelecehan tersebut dengan memposting screenshot pesan yang ia dapat lewat Instagram Story-nya. Namun nyatanya, netizen tidak mendukung keberaniannya, malah mereka terkesan mendukung kelakuan Simic dan memperolok Via karena ‘sok jual mahal’.

Kasus lainnya adalah seorang perempuan berusia 15 tahun korban pemerkosaan di Jambi yang malah dijatuhi hukuman penjara 6 bulan karena menggugurkan kandungan yang sudah berumur enam bulan. Masalahnya, ia hamil karena diperkosa 8 kali oleh kakak laki-lakinya. Ia melakukan aborsi juga atas bantuan ibunya.

Pihak kepolisian sempat memberikan keterangan. Korban pemerkosaan ikut dibui karena melakukan aborsi dengan janin yang sudah berusia 6 bulan. Walapun belum ada UU yang secara khusus mengatur soal aborsi, namun menurut kepolisian, tindakan aborsi sama saja dengan pembunuhan atau menghilangkan nyawa.

Pemikiran kita dikoyak-koyak dalam kasus ini. Mengapa korban pemerkosaan malah ikut dipenjara, bukannya dilindungi hukum? Mengapa tersangka pemerkosaan hanya dijatuhi hukuman dua tahun penjara? Mengapa?

Dengan terjadinya kasus ini, banyak lembaga-lembaga yang membuat petisi di situs change.org karena menilai anak korban perkosaan tidak layak untuk dihukum. Mereka ingin korban dibebaskan tanpa syarat. Hal ini menjadi pengingat, lagi-lagi hukum Indonesia tajam ke bawah namun tumpul ke atas.

Beberapa kasus di atas merupakan alasan mengapa kita sebagai individu belum juga ikut merdeka. Anyway, esai saya ini juga termasuk salah satu yang tidak bisa 'merdeka' karena terhalang team lead yang tidak suka dikritik atas kinerjanya yang setengah-setengah.

Tulisan saya ini tidak bisa 'merdeka' lewat media tempat saya bekerja kini. Padahal team lead sendiri yang meminta tulisan bernuansa 17-an, tapi dia pula yang menolaknya. Katanya, konten esai saya terlalu berat tanpa memberitahu saya dimana letak beratnya. Duh, dipikir mudah kali ya nulis esai sepanjang ini? ๐Ÿ˜’ 

Lalu kapan sekiranya kita, sebagai individu, bisa ikut merdeka layaknya Indonesia? ๐Ÿค”

Sunday, August 12, 2018

Hangat dan Intim dalam Konser Phum Viphurit Live in JKT


Phum Viphurit.

Setelah energi penonton hampir terkuras atas penampilan dua band pembuka, Circarama dan Polka Wars yang cukup mengebu-gebu, kini giliran Phum Viphurit beserta anggota band lainnya naik ke atas panggung yang tingginya kurang lebih hanya 60 cm.

Phum naik ke atas panggung dari sisi kanan penonton. Teriakan histeris dari penggemar yang didominasi oleh perempuan memenuhi ballroom Hotel Grand Kemang, Sabtu (11/8) malam. Mungkin bahagia karena bisa menyaksikan langsung pertunjukan si ‘Lover Boy’.

Hello! Selamat malam, everybody,” sapa Phum sesaat setelah naik ke atas panggung.

Hari itu, musisi kelahiran Thailand yang dibesarkan di Selandia Baru sejak usia 9 tahun tersebut mengenakan pakaian yang cukup santai; kaos hitam ‘Damn! I Love Indonesia’ pemberian salah satu penggemar yang sempat ikut meet and greet, celana panjang garis-garis gradasi abu-abu putih yang digulung, kaos kaki warna merah dengan sepatu Converse krem putih, serta jam tangan Casio warna emas.

Senyuman manis dengan gigi berbehel dari penyanyi bernama asli Viphurit Siritip ini tidak pernah hilang. Bersama dengan anggota band lainnya; Tanapon Santiwattana sebagai bassist, Chen-An Wu sebagai gitaris, dan Ormfu pada drum, Phum langsung membawakan lagu ‘Stranger in a Dream’.

Sesaat, Phum terlihat seperti kaget saat mendengar seluruh penonton sing-along dan hafal lirik lagunya. Lagi-lagi senyum manisnya masih saja menempel di wajahnya. Setelah lagu ‘Stranger in a Dream’, pria yang kini berusia 23 tahun tersebut langsung membawakan ‘Paper Throne’ dan ‘Trial and Error’.

Tiba-tiba, Phum meminta salah satu penonton untuk berpartisipasi dalam lagu ‘The Art of Detaching One’s Heart’. Semua penonton, mayoritas perempuan, mengangkat tangannya agar dapat dipilih untuk bernyanyi bersama. Mengingat lagu ‘The Art of Detaching One’s Heart’ merupakan kolaborasi antara Phum dan Jennifer Lackgren dari Jenny & The Scallywags, ia ingin lirik bagian Jennifer dinyanyikan oleh salah satu penggemarnya.

Phum terlihat kewalahan, dan akhirnya memutuskan untuk menarik salah satu penonton dari barisan paling depan. Penggemar yang dipilih Phum adalah perempuan berhijab bernama Audia. Di atas panggung, Audia itu menyanyikan lirik bagian Jennifer dengan kaku dan seakan tak percaya ia bisa satu panggung dengan Phum. Ini seperti ‘One Less Lonely Girl’-nya Justin Bieber, yang membuat penonton lainnya iri.

Setelahnya, pria yang memiliki tinggi kurang lebih 185 cm itu sempat berkata turut berduka cita atas bencana alam gempa yang terjadi di Lombok dan Bali beberapa waktu lalu. Untuk itu, Phum langsung memperkenalkan bassistnya, Tanapon untuk memperlihatkan kemampuan beatboxnya.

Tanpa ragu, Tanapon memperlihatkan kemampuan beatboxnya yang pernah mendapatkan penghargaan. Mungkin semua orang yang ada di dalam ruangan itu terkejut dengan pertunjukan tersebut.

Okay, I can leave you now,” canda Phum setelah Tanapon selesai ber-beatbox-ria.

Yang ditunggu-tunggu, akhirnya Phum membawakan ‘Lover Boy’ dan dilanjut dengan ‘Beg’. Sebelum mulai membawakan ‘Beg’, Phum bercerita bahwa lagu ini mengenai kisah cintanya yang ditolak oleh teman perempuannya di Selandia Baru. Setelah ditolak, Phum yang baru berusia 18 tahun saat itu langsung buat lagu ‘Beg’ dalam waktu dua hari.

She’s doesn’t like me, and now she’s engaged,” ungkapnya, disusul koor kekecewaan penonton.

Kemudian Phum bawakan ‘Sweet Hurricane’, single pertamanya berjudul ‘Adore’ yang diberikan sentuhan musik reggae diakhir pertunjukan, dan lagu ‘Long Gone’ sebagai penutup konser hangat dan intim ini.

This is last song for tonight, see you next time!” ujar Phum.

Selesai bawakan ‘Long Gone’, Phum menyuruh semua penonton maju ke depan untuk direkam. Barikade tiang pembatas pita yang sering digunakan di bank langsung copot, membuat penonton membludak maju ke depan panggung. Suasana cukup chaos, Phum yang saat itu sedang berkeringat langsung dipeluk oleh beberapa penggemar. Tak hanya Phum, ketiga anggota bandnya pun tidak luput dari serbuan penonton.

Karena tidak ingin ada ‘korban’, pihak sekuriti dan pihak promotor Lokatara Live langsung menyelamatkan Phum, meninggalkan ketiga anggota band yang masih diserbu.

Malam itu, Phum membawakan semua lagu yang ada dalam album pertamanya, ‘Manchild’ (2017). Mungkin akan ada beberapa penonton yang kecewa karena Phum tidak berbicara dalam Bahasa Thailand, malah berbicara bahasa Inggris sebagai bahasa pertamanya. Dilansir dari berbagai hasil wawancara, Phum memang lebih nyaman menggunakan bahasa Inggris saat menulis dan menyanyikan lagu.

Lagu-lagu yang ia tulis, ia sebut sebagai ‘sunshine music’ karena sebagian besar liriknya berdasarkan perasaan dan emosi yang muncul ketika ia menulis dan mengaransemen lagu.

Dilansir dari Time Out Bangkok, Phum rencananya akan mengeluarkan album kedua pada kuartal ketiga tahun ini. Menurutnya, album kedua ini akan sedikit berbeda dari yang pertama, yang melibatkan melodi sedih dan skenario buruk kehidupan. Pada album kedua, isinya akan fokus pada hal-hal menyenangkan dan orang-orang yang ia temui dalam kehidupan.

Sebelumnya, Circarama dan Polka Wars jadi band pembuka pertunjukan Phum Viphurit Live in Jakarta.

Circarama.

Band asal Jakarta, Circarama membawakan lima lagu dari album pertamanya, ‘Plasticine Jewel’ (2017), yaitu ‘Empty Room’, ‘I Don’t Mind’, ‘Apple Queen’, ‘Sweet Shining’, dan ‘Porcelain Sky’.

Sedangkan Polka Wars membawakan beberapa lagu, yaitu ‘Horse’s Hooves’, ‘Coraline’, ‘Seek’, ‘Mapan’, ‘Rekam Jejak’, ‘Rangkum’, dan ‘Mokelรฉ’ yang masing-masing diambil dari album ‘Axis Mundi’ (2015), ‘EP/NY’ (2017), dan single terbaru mereke: ‘Mapan’ serta ‘Rekam Jejak’.

Polka Wars.

“(Konser ini) pas nih untuk menyambut Asian Games (karena ada kolaborasi antara Indonesia dan Thailand),” ujar vokalis sekaligus gitaris Polka Wars, Karaeng Adjie.

Tidak hanya membawakan lagu-lagu lamanya, Polka Wars juga sempat membawakan lagu baru yang belum dirilis berjudul ‘Mandiri’. Yang spesial kali ini, Karaeng menyanyikan lagu ini sendiri tanpa bantuan ketiga personil lainnya, gitaris Billy Aulia Saleh, bassist Xandega Tahajuansya, dan drummer Giovanni Rahmadeva. Jika dilihat dari lirik yang diyanyikan, lagu ‘Mandiri’ berkisah mengenai patah hati yang belum sembuh.

Circarama dan Polka Wars sendiri merupakan band beranggotakan masing-masing empat orang yang berasal dari Jakarta.

Circarama berisi anggota; Jugo Djarot pada gitar dan vokal, Faiz Mochamad pada gitar, Teuku RIfaldi pada bass, dan Eki Yuda Sena pada drum. Musik mereka bergenre sekiranya psychedelic, folk, ambient, dan rock. Namun sebagai grup musik, mereka enggan melabeli diri mereka sebagai band dengan satu genre tertentu. Menurut mereka, hanya orang-orang yang sudah mendengarkan musik mereka yang bisa ‘melabeli’nya.

Lain lagi dengan Polka Wars, yang anggotanya merupakan lulusan sekolah Islami. Pada 2015, mereka sempat memenangkan kompetisi yang disponsori Converse, yang hadiahnya berupa kesempatan rekaman di Converse Rubber Tracks Studio, Brooklyn, New York, Amerika Serikat. Pada album ‘Axis Mundi’, semua lirik ditulis dalam Bahasa Inggris. Namun, baru-baru ini, setelah merilis lagu ‘Rangkum’, Polka Wars mulai memproduksi lagu dalam Bahasa Indonesia.

PS: postingan ini sempat tayang menjadi dua artikel di UrbanAsia dengan judul 'Circarama dan Polka Wars Buka Pertunjukan Phum Viphurit Live in Jakarta' dan 'Konser Phum Viphurit Live in Jakarta: Hangat dan Intim'.