Sumber: KlikKabar.com |
Ya, kini kita sebagai individu belum merdeka karena ‘jajahan’ dari sesama masyarakat Indonesia sendiri. Hal ini terjadi karena banyaknya individu atau sekelompok orang yang tidak bisa menerima perbedaan.
Benar kata Presiden pertama RI, Dr. Ir. H. Soekarno, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri." Nah lho! 😥
Benar kata Presiden pertama RI, Dr. Ir. H. Soekarno, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri." Nah lho! 😥
Dalam esai yang agak serius ini, saya akan menjabarkan beberapa contoh kasus yang mirisnya banyak terjadi di sekitar kita, yang setidaknya akan menyadarkan pemikiran bahwa ada banyak alasan mengapa kita, sebagai individu, belum juga ikut merdeka.
Beberapa waktu lalu sempat viral video mengenai seorang laki-laki bernama Alif yang dipukul menggunakan helm oleh perempuan oknum supir ojek online di trotoar Jalan Jatiwaringin, Bekasi. Alif dipukul lantaran menegur supir tersebut untuk tidak naik motor lewat trotoar. Padahal Alif tidak hanya menegur oknum tersebut, ia juga menegur pengendara motor yang naik ke atas trotoar lainnya.
Selain kasus di atas, masih banyak kasus-kasus pertengkaran lainnya yang melibatkan pengguna motor dan mobil dengan pejalan kaki yang mempertegas haknya dalam menggunakan trotoar. Inilah pentingnya sosialisasi mengenai penggunaan trotoar hanya untuk pejalan kaki, bukan pengguna motor, mobil bahkan untuk berjualan.
Ngomongin soal trotoar, kaum disabilitas juga belum ‘merdeka’. Saat ini belum banyak trotoar ramah disabilitas. Biasanya sering kita temui jalur kuning yang dibuat untuk memudahkan penyandang tunanetra, yang kenyataannya enggak ngebantu memudahkan mereka. Kadang jalur kuning dibuat tidak lurus bahkan ada yang malah membahayakan karena posisinya terlalu pinggir. Padahal jalur kuning itu merupakan hak mereka lho.
Lain lagi di Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara. Meiliana, seorang minoritas, malah dituntut penjara selama 1,5 tahun setelah mengeluhkan bahwa suara azan yang dikumandangkan masjid di dekat rumahnya terlalu keras dan menyakiti telinganya. Ia dipenjara berdasarkan pasal penodaan agama (blasphemy law).
Padahal ada lho regulasi soal penggunaan pengeras suara. Dilansir dari Tirto.id, Dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushola, pengguna pengeras suara harus terampil sehingga tidak menimbulkan suara bising atau berdengung yang dapat menimbulkan polusi suara.
Dalam instruksi tersebut juga menyatakan saat salat subuh, ashar, magrib dan isya boleh menggunakan pengeras suara. Sedangkan untuk salat dzuhur dan Jumat, semua doa, pengumuman, khotbah, takbir, dan tarhim menggunakan pengeras suara ke dalam bukan ke luar masjid/mushola. Sayangnya, instruksi tersebut hanya memberi pedoman dasar dalam menggunakan pengeras suara. Tidak ada sanksi yang tercantum dalam instrumen itu bagi masjid yang melanggar.
Yang membuat geram dari kasus ini adalah, sesaat setelah Meiliana mengeluh (iyah, dia cuma ngeluh karena speakernya terlalu berisik), sekelompok orang yang tersinggung dengan kata-katanya membakar dan merusak beberapa wihara dan klenteng di Tanjung Balai. Namun lucunya, tujuh orang pelaku perusakan wihara dan klenteng hanya divonis penjara hitungan bulan.
Dilansir dari BBC, organisasi Human Rights Watch mengungkapkan untuk kesekian kalinya pasal penodaan agama ‘memakan korban’. Sejak 1965, pasal penodaan agama sudah dipakai sebanyak 119 kali di Indonesia. Iya, memang hukum di negeri tercinta ini masih saja tumpul kepada mayoritas dan tajam kepada minoritas.
Selain Meiliana, masih banyak minoritas yang tidak bisa hidup dengan tenang di negara sendiri. Bagaimana bangsa mau maju kalau masyarakatnya terlalu gila agama dan tidak bisa menerima perbedaan?
Lagipula kalau kamu melihat orang beribadah sesuai dengan kepercayaan agama mereka masing-masing enggak bakal bikin kamu auto-kafir kok. Kayaknya sih Tuhan bakal tertawa melihat pengikutnya mengaku beragama tetapi tidak memiliki dan mencerminkan kepribadian yang diajarkan oleh agama.
Beberapa kasus lainnya lebih banyak menimpa perempuan karena masih adanya ‘rape culture’, yaitu dimana pemerkosaan/kekerasan seksual yang sering terjadi tetapi dianggap normal dan biasa saja. Menyalahkan korban, mempermasalahkan cara korban berpakaian, dan memaklumi/mewajarkan tindakan pelaku merupakan salah satu ciri-ciri ‘rape culture’.
‘Rape culture’ ini tidak hanya menghinggapi pemikiran laki-laki, bahkan perempuan juga. Ingat kasus penyanyi dangdut Via Vallen yang dilecehkan secara verbal oleh pesepak bola Marco Simic? Beruntung Via cukup berani untuk ‘melawan' pelecehan tersebut dengan memposting screenshot pesan yang ia dapat lewat Instagram Story-nya. Namun nyatanya, netizen tidak mendukung keberaniannya, malah mereka terkesan mendukung kelakuan Simic dan memperolok Via karena ‘sok jual mahal’.
Kasus lainnya adalah seorang perempuan berusia 15 tahun korban pemerkosaan di Jambi yang malah dijatuhi hukuman penjara 6 bulan karena menggugurkan kandungan yang sudah berumur enam bulan. Masalahnya, ia hamil karena diperkosa 8 kali oleh kakak laki-lakinya. Ia melakukan aborsi juga atas bantuan ibunya.
Pihak kepolisian sempat memberikan keterangan. Korban pemerkosaan ikut dibui karena melakukan aborsi dengan janin yang sudah berusia 6 bulan. Walapun belum ada UU yang secara khusus mengatur soal aborsi, namun menurut kepolisian, tindakan aborsi sama saja dengan pembunuhan atau menghilangkan nyawa.
Pemikiran kita dikoyak-koyak dalam kasus ini. Mengapa korban pemerkosaan malah ikut dipenjara, bukannya dilindungi hukum? Mengapa tersangka pemerkosaan hanya dijatuhi hukuman dua tahun penjara? Mengapa?
Dengan terjadinya kasus ini, banyak lembaga-lembaga yang membuat petisi di situs change.org karena menilai anak korban perkosaan tidak layak untuk dihukum. Mereka ingin korban dibebaskan tanpa syarat. Hal ini menjadi pengingat, lagi-lagi hukum Indonesia tajam ke bawah namun tumpul ke atas.
Beberapa kasus di atas merupakan alasan mengapa kita sebagai individu belum juga ikut merdeka. Anyway, esai saya ini juga termasuk salah satu yang tidak bisa 'merdeka' karena terhalang team lead yang tidak suka dikritik atas kinerjanya yang setengah-setengah.
Tulisan saya ini tidak bisa 'merdeka' lewat media tempat saya bekerja kini. Padahal team lead sendiri yang meminta tulisan bernuansa 17-an, tapi dia pula yang menolaknya. Katanya, konten esai saya terlalu berattanpa memberitahu saya dimana letak beratnya. Duh, dipikir mudah kali ya nulis esai sepanjang ini? 😒
Lalu kapan sekiranya kita, sebagai individu, bisa ikut merdeka layaknya Indonesia? 🤔
Tulisan saya ini tidak bisa 'merdeka' lewat media tempat saya bekerja kini. Padahal team lead sendiri yang meminta tulisan bernuansa 17-an, tapi dia pula yang menolaknya. Katanya, konten esai saya terlalu berat
Lalu kapan sekiranya kita, sebagai individu, bisa ikut merdeka layaknya Indonesia? 🤔
No comments:
Post a Comment