Monday, December 21, 2020

26

Phew... lagi-lagi memasuki usia baru dengan kesendirian. Sebenarnya sih nggak masalah ya, toh kita senang-senang saja ngelakuin apa-apa sendiri.

Meski sendiri, bukan berarti setahun terakhir ini suck ya. Banyak hal seru yang dilewati. Mulai dari menemukan hobi baru, hingga pasangan baru. Iya, nggak salah baca kok. Akhirnya setelah lima tahun menjomblo, saya pacaran lagi...

... tapi hanya untuk empat bulan.

Ini kisahnya cukup nano-nano sih. Bolehlah ya kita cerita mengenai mantan di postingan ulang tahun kali ini. Bosan kalau harus marah-marah lagi kayak pas postingan 25 atau pusing lihat perencanaan pernikahan teman di postingan 24.

Okeh kita mulai aja ceritanya.

Mantan saya berinisial T dan berusia 27 tahun alias terpaut dua tahun dari saya. Sign kami sama-sama Sagitarius, tapi saya lupa dia ulang tahunnya Desember tanggal berapa. 😅

Kita match lewat aplikasi pencarian jodoh Bumble pada 23 Juni 2019 (yes, I scrolled this and reread some chat between us). Dia ini aslinya orang Serang tapi merantau dan nyewa indekos di Jakarta Barat. Saya lupa dia bekerja sebagai video editor atau illustrator, ya intinya yang berhubungan dengan visual.



Setelah match, kita cukup intens chatting via Bumble. Ngomongin keseharian, rekomendasiin film, hukum, poitik, sampai lagu-lagu .Feast dan Hindia (cieee dengerinnya Baskara banget nih 😛). Benar-benar ruang diskusi banget. Saya yang saat itu masih nganggur, jadi tertarik untuk terus chat sama dia.

Uniknya kita nggak pernah minta akun media sosial masing-masing. Benar-benar hanya chat via Bumble... sampai 11 Agustus 2019 saya inisiatif duluan untuk pindah chat ke WhatsApp. Jujur ya, saya ngerasa nyaman dan aman chat sama dia, jadi why not.



Tapi setelah pindah chat ke WhatsApp, komunikasi kami malah mengendur. Masing-masing dari kami terkadang nggak balas chat yang ada dan didiamkan begitu saja. Komunikasi kami jadi on-off banget. Ya saya sih santai, karena merasa ini bukan prioritas.

Hingga awal tahun 2020, dia tiba-tiba membalas status WhatsApp saya dan kita mulai intens chat kembali. Nggak lama kemudian dia bilang mau nyamperin saya ke Depok. Dia mau ketemu saya. 

WOW! Sungguh mengagetkan!

Meski agak tiba-tiba, tentu saya iyakan. Dia menuju Depok dengan kereta dan kami janjian bertemu di Habitat, kafe milik temannya teman saya. Kami akhirnya bertemu dan saya merasa dia sesuai dengan apa yang selama ini saya pikirkan.

Obrolan kami mengalir begitu saja. Seperti bertemu dengan teman lama. Dari pertemuan pertama tentu ada pertemuan kedua, ketiga, keempat.

Setelah banyak meet up, kami jadian. Tapi saya lupa tanggal pasti jadiannya. Jujur, kalau saya nggak ingat, artinya peristiwa ini nggak begitu memorable buat saya. Mungkin terlihat jahat ya, tapi memang begitulah kenyataannya.

Saat itu juga dia nggak mengeluarkan pernyataan seperti "Mau jadi pacar aku nggak?"Saya ingat dia cuma bilang "Mau ngejalanin dulu nggak?" saat pertemuan kami di salah satu kafe di kawasan M Bloc Space.

Saya sebenarnya bimbang. Hati saya bilang jangan karena belum ada rasa suka sama sekali dengan dirinya. Tapi di sisi lain saya ngerasa ini kesempatan baik meski nggak tahu bakal ada apa ke depannya.

Setelah berpikir beberapa waktu, akhirnya saya iyakan ajakan dia. Yup, finally I got a boyfriend.

Selama pacaran, saya paling blak-blakan dengan mantan. Saya berani menceritakan masalah dan trauma yang masih saya rasakan hingga kini. Saya bahkan sempat bilang kalau saya belum ada niatan ke jenjang pernikahan karena trauma tersebut.

Sang pacar, yang tentu kini sudah jadi mantan, saat itu mendengarkan dan meresponnya dengan baik.

Tapi rupanya mulai muncul masalah...

Saya kesulitan pacaran. Saya kaget rupanya kencan-kencan yang kami lalui itu mengambil banyak porsi uang hidup bulanan saya. Kami selalu split billing atau bergantian mengeluarkan uang. Jujur, pacaran mahal ya bok!

Selain itu saya kaget karena setiap hari harus ngabarin, teleponan setiap malam dan lainnya. Saya biasanya sendiri, jadi kegiatan ini sejujurnya sangat menguras energi saya. Ya meski begitu saya mencoba nyaman dan jalani saja.

Lalu... masalah lainnya seakan muncul perlahan. Ingat saya pernah bilang ke mantan jika saya belum ada niatan ke jenjang pernikahan? Rupanya mantan seperti berbeda pemikiran.

Saya merasa mantan perlahan-lahan mendorong untuk mengarahkan hubungan ini ke jenjang pernikahan, meski tahu saya punya trauma, yang bahkan insiden pemicunya pernah dia dengarkan dengan telinga kepala sendiri.

Dia bahkan encourage kalau saya bisa jadi mama yang baik bagi anak-anak. Mohon maaf, saya berangan-angan atau proyeksi diri jadi ibu dari seorang anak aja nggak pernah. Jujur, saya nggak bisa ngebayangin ngelahirin anak ke dunia yang seperti ini.

Meski mantan nggak blak-blakan ngajakin nikah, tapi saya merasa 'ditekan'. Akibatnya coping mechanism bekerja. Saya mendadak menjauhi dia. Saya berhenti kontak dia. Tentu dia bertanya-tanya, berusaha menghubungi saya tapi hasilnya nol. Saya menutup diri.

Dia juga nggak bisa datang ke rumah saya karena saya tidak pernah membawanya ke rumah atau mengenalkanya ke kedua orang tua dan ke sanak saudara lain. 

Saya takut jika orang tua nyuruh saya nikah. Beberapa bulan sebelum pacaran, Mamak saya sudah kode untuk saya nikah dan ini didukung oleh adik-adiknya (baca kisahnya di sini). Ini yang bikin saya takut ngenalin mantan kepada mereka. Apalagi setelah tahu mantan punya pemikiran ke sana, saya makin emoh untuk ngenalin ke keluarga.

Rupanya yang saya lakukan ini adalah silent treatment, dan ini jahat. Untuk satu ini, saya hanya bisa minta maaf. Seharusnya sebagai orang dewasa, saya bisa komunikasikan dengan baik. Nyatanya tidak seperti itu.

Silent treatment ini berjalan sekitar dua minggu. Setelahnya saya memutuskan untuk minta pisah via WhatsApp. Saat itu pandemi Covid-19 lagi menggila dan saya dapat work from home (WFH), jadi nggak bisa bertemu langsung untuk minta pisah.

Kalau dari chatannya, dia marah. Ya tentu marah, wong pacar nggak ada kabar dua minggu terus tiba-tiba minta putus. Ya akhirnya putuslah kita, dan jujur, hati saya lega karena ngerasa nggak ada pressure lagi.

Di sisi lain saya bukan anti dengan pernikahan, tapi hanya belum lihat benefit menikah untuk kehidupan saya. Saya lebih banyak melihat minus dari pernikahan. Kemungkinan ini hasil buah pemikiran dari trauma yang belum sembuh.

Berdasarkan hasil dari psikolog yang saya curhati, saya memang harusnya melakukan penyembuhan perlahan dan bertahap terhadap trauma tersebut, sehingga nantinya dapat menjalani hidup dengan lebih baik.

Setelah putus dari mantan, saya mulai menata lagi step-step hidup ke depannya. Saya mungkin menikah, tapi tidak tahu kapan. Sekarang saya mau fokus kepada diri sendiri, menerima diri sehingga nantinya bisa membuka diri ke orang baru.

Dari hubungan ini, saya bisa petik banyak hal. Berkat mantan, saya jadi bisa mengenal diri sendiri lebih baik lagi. Akhirnya saya sadar bahwa saya belum siap untuk berkomitmen sebelum benar-benar terlepas dari beban-beban trauma yang ada.

Saya juga belajar kalau lebih baik menolak ajakan berhubungan kalau memang belum ada hati atau rasa. Saya merasa hubungan yang setengah-setengah seperti ini memang nggak baik untuk dijalani.

Selain itu mata saya benar-benar terbuka soal komunikasi, karena ini merupakan tiang yang paling penting dalam sebuah hubungan. Dari hubungan ini juga akhirnya saya bisa belajar mengenai apa yang harus dilakukan agar hubungan baru di masa depan bisa terjalin dengan baik.

Jika sudah lebih baik, saya juga berharap bisa mengenalkan pasangan ke keluarga. Biar nanti bisa pacaran di rumah aja, lebih hemat hahaha



Ya begitulah, tahun ini highlightnya ya saya punya pacar lagi setelah lima tahun sendiri. Sayangnya pendekatan 7 bulan hanya bisa bertahan 4 bulan hehehe ya gak apa lah ya, namanya juga hidup.

PS: Untuk mantan, kalau kamu baca postingan blog ini, saya minta maaf ya. Saya harap kamu bisa dapat pasangan yang cocok secara visi dan misi hidup, sehingga langgeng sampai maut memisahkan. Terima kasih juga. Ya, pokoknya mah yang terbaik buat hidup masing-masing. 😊

Wednesday, May 20, 2020

Lika-liku Hidup Selama Pandemi

Siang itu sama seperti siang-siang pada hari-hari sebelumnya.

Saya diam di kamar. Menghembuskan nafas malas sembari terlentang di atas ranjang. Saya tinggalkan laptop yang menyala, menampilkan pekerjaan-pekerjaan yang belum usai dikerjakan.

"Oh, sudah lebih dari 10 minggu," gumam saya.

Mungkin ini aneh, tapi saya rindu hiruk pikuk Jakarta. Sepuluh minggu lalu, mungkin ini hal yang paling saya benci.

Sudah lebih dari 10 minggu saya 'terkurung' di rumah akibat pandemi COVID-19.

Saya yang bekerja sebagai jurnalis hampir mengalami mental breakdown karena saban hari harus menulis berita up to date mengenai penyakit ini.

Tapi makin lama saya makin bodo amat.

Jujur, sebelum memasuki fase bodo amat, saya bisa mual-mual saat nulis berita mengenai COVID ini. Rasanya pusing, merasa hidup akan berakhir. Pemikiran itu terus ada menghantui hingga saya merasa kebal sendiri.

Nggak tahu deh bakal seperti apa ke depannya. Saya tetiba rindu isu yang mengatakan pandemi virus ini akan berakhir setelah dua minggu lockdown di rumah masing-masing. Kalau dipikir-pikir, ini agak bullshit ya, tapi ya sudahlah.

Life must go on ceunah! 😁

Monday, February 24, 2020

Drama kopi darat

Saya pernah punya pengalaman tidak mengenakan soal kopi darat (kopdar) dengan pria, dan ini terjadi saat SMP.

Singkatnya dulu saya pernah dicomblangin dengan sepupunya salah satu teman lelaki. Dimintalah saya ketemu dengan sepupunya di stasiun Depok Lama. Saya iyain aja karena penasaran.

Dulu polos banget ya, jadi nggak curiga kenapa tiba-tiba minta ketemuan... di stasiun pula. Ngapain deh haduh... 🙄

Sebelum diminta kopdar, teman saya ini selalu membanggakan sepupunya. Manisss banget omongannya.

Eh ternyata zonk abis. Kata teman saya, sepupunya ini manis tapi boro-boro manis. Sumpah buyar image dia di pikiran saya. Mana kelihatan kayak mesum. Langsung ilfeel sejadi-jadinya.

Karena takut, saya langsung pura-pura bilang baru ingat ada janji sama nyokap. Dari situ saya langsung ngacir dan pulang ke rumah.

Dahlah... akibat peristiwa ini saya jadi trauma dengan kopdar.


***

Belasan tahun kemudian, saya nekat kopdar lagi. Saya merasa sudah dewasa, jadi sepertinya bisa mengatasi trauma kopdar.

Hari ini akhirnya saya kopi darat dengan salah satu match pria di aplikasi pencarian jodoh Bumble. Awalnya saya nggak ekspektasi berlebih. Saya hanya berharap aslinya sesuai dengan apa yang selama ini saya pikirkan.

Syukurlah pertemuan saya dengan pria tersebut berjalan mulus. Rasanya seperti bertemu dengan teman lama. Fyi, kami sudah saling berkomunikasi via WhatsApp sejak 1 Agustus 2019 lalu, jadi sekitar 7 bulan lah. 

Kami janjian bertemu di Habitat, kafe milik temannya teman saya. Saya juga mengenalkannya ke beberapa teman saya yang saat itu sedang nongkrong di sana.

Pertemuan itu berakhir dengan baik dan kita berpisah di stasiun kereta (lagi-lagi lokasi ini 🙄). Sebelum berpisah, saya dan dia berjanji akan bertemu lagi bulan depan.

I hope this going well lah ya hehehe 😁

Sunday, February 23, 2020

Feeling betrayed

Hari Minggu siang rumah saya kedatangan para tante, atau adik-adiknya Mamak. Mereka berkumpul di teras, berkomunikasi dan bersenda-gurau seperti biasa.

Saya, yang saat itu sedang bersiap untuk pergi, sempat duduk sebentar untuk mengikuti obrolan mereka. Kita sempat membicarakan hal-hal yang sedang viral di sosial media dan pemberitaan saat itu.

Namun, salah satu adik Mamak yang bernama Tante Hen, out of the blue, bertanya mengenai topik yang selalu saya hindari.

"Kak, sudah punya teman dekat?" tanya Tante Hen.

Saya langsung memutar otak, berharap jawaban saya ini bisa menghentikan pertanyaan selanjutnya, "Teman dekat? Banyak kok tan!"

Tetapi, saya salah. Tante saya yang lainnya, Tante Lis, malah dengan gamblang membetulkan maksud dari Tante Hen.

"Bukan teman dekat, Hen. Pacar maksudnya!" ujar tante Lis, dengan nada semangat.

"Oh pacar? Ah ribet ah pacar-pacar," jawabku lagi.

"Kita mau rapat nih, Kak. Makanya kapan?" tanya Tante Hen kembali.

Belum aku menjawab, Tante El menimpahi omongan Tante Hen sambil tertawa, "Punya calon juga enggak, gimana mau rapat?"

"Nah itu tau, Tan," imbuhku.

"Iya nih, kita mau bikin seragam lagi," ujar Tante Lis.

"Kalau seragam, pakai seragam bekas nikahan kakak atau abang aja. Gak ada budget lah Tan," ucapku mantap.

Kupikir cecaran soal punya pacar dan menikah akan berhenti sampai situ, but I was wrong. Kali ini yang buka suara bukan para tante-tante, melainkan Mamak sendiri.

"Iya nih, tinggal nikahin satu lagi," ujar Mamak.

DEG! 😨

WHAT? W-H-A-T? MOM! YOU BETRAYED ME!

Sumpah demi apapun, saat Mamak mengeluarkan kalimat tersebut, saya merasa terkhianati. Sebab saya pikir Mamak paham bahwasanya saya sedang menikmati hidup sendiri, dan paham kenapa saya belum mau menikah dan berumah tangga.

Padahal saya sudah senang karena selama ini Mamak tidak pernah mengeluarkan pernyataan seperti ini. Tetapi ketika ada 'dukungan' dari adik-adiknya, Mamak jadi berani memberi pertanyaan seperti itu.

"Ya sudah kak, siapa tahu abis Kakak pergi hari ini, kakak bisa dapat pasangan," tutup Tante Hen, meninggalkan saya yang bengong karena merasa tanteku satu ini semacam cenanyang.

Kalimat akhir Tante Hen ini entah bisa dibilang sedikit tepat, sebab hari ini saya akan kopi darat alias bertemu dengan salah satu pria yang saya kenal lewat aplikasi pencarian jodoh Bumble.

Ini akan menjadi pertama kalinya saya bertemu dengan dia, setelah 'match' dengannya sejak 23 Juni 2019 silam. Saya enggak berekspektasi apa-apa, hanya berharap dia sama seperti chat yang intens kami lakukan dalam beberapa bulan terakhir. I hope. 🙂